oleh Kiai A Dardiri Zubairi
vianeso.com – Tadi malam untuk pertama kalinya saya nonton debat publik calon bupati, itu pun melalui live streaming. Sejak dulu, saya tak pernah menonton debat, meski debat calon presiden. Debat perlu untuk menguji gagasan dan kemampuan merancang strategi ketika memimpin, tapi tak cukup menguji sisi dalam calon; komitmen, keberpihakan, ketulusan, kejujuran, dst. Rekam jejak sang calon tetap rujukan pertama untuk memilih, setidaknya bagi saya.
Dalam Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati pertama yang difasilitasi KPU Sumenep pada tanggal 26 Oktober pukul 19.30 tadi malam, tampil pasangan calon nomer 1 KH Muhammad Ali Fikri – KH Unais Ali Hisyam) dan paslon nomor 2 Ahmad Fauzi Wongsojudo – KH Imam Hasyim). Debat berlangsung selama 120 menit. Salah satu yang jadi materi debat menyangkut isu lingkungan, sesuatu yang saya geluti sejak tahun 2016.
Tulisan ini ingin menjawab jawaban sang petahana (Bapak Fauzi) yang menurut saya kurang jujur dalam menyampaikan fakta di lapangan. Jawabannya sangat datar dan cenderung normatif, sambil mengelak bahwa tanggungjawab soal lingkungan (dalam hal ini menyangkut ekosistem pesisir) bukan hanya tanggungjawab pemerintah daerah, tapi tanggungjawab semua pihak.
Dalam perda RTRW NO 12 Tahun 2013 ada klausul yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah menyediakan lahan tambak udang Vannamei seluas lebih 1000 hektar. Ini berarti membuktikan bahwa kerusakan ekosistem pesisir (karena alih fungsi lahan menjadi tambak udang) memang “dilegalkan” oleh pemerintah daerah melalui perda RTRW.
Dan benar. 3 tahun setelah perda RTRW disahkan, tepatnya tahun 2016, pergerakan pembelian lahan pesisir berlangsung massif oleh investor meliputi beberapa kecamatan, terutama kecamatan di timur daya. Tahun demi tahun akhirnya hampir total seluruh pesisir di kecamatan Pragaan, Bluto, Talango, Gapura, Dungkek, Batang-batang, Batuputih, Dasuk, Ambunten, Pasongsongan dialihfungsikan menjadi tambak udang baik oleh investor maupun oleh rakyat (karena awalnya melihat hasil komoditi udang mahal, meski akhirnya merugi dan sekarang tambak rakyat banyak yang tutup).
Soal tambang pasir, terutama yang disoal dalam debat di Pulau Giliyang, Bapak Fauzi juga tidak jujur ketika menjelaskan sering mengadakan sosialisasi, termasuk kepada tokoh agama dan masyarakat (tonton video di menit 52.05 – 52.24). Setelah bapak Fauzi menyampaikan statemennya, saya langsung chat tokoh masyarakat di Giliyang. Ternyata menurut tokoh masyarakat Giliyang, “TAK PERNAH SEKALIPUN PEMKAB MENGADAKAN SOSIALISASI SOAL BAHAYA PENAMBANGAN PASIR DI GILIYANG”. Nah, ketahuan kan?
Soal tanggungjawab yang tidak semua harus dibebankan sama pemkab atau pemimpin daerah, it’s okey. Tapi yang diperdebatkan soal kebijakan. Dan pak Fauzi sebagai kepala daerah yang memiliki otoritas memerintah SKPD, Camat, Kepala Desa, Satpol-PP, dan memiliki kewenangan anggaran untuk digunakan mengupayakan ekosistem pesisir terpelihara, kok mengelak dan mengatakan, merupakan tanggungjawab semua?
Fungsi pemerintah bagi saya bukan sekadar koordinasi dan komunikasi. Tetapi memberi jaminan rasa aman bagi segenap warga, termasuk dari ancaman kerusakan lingkungan. Kalau koordinasi dan komunikasi tidak efektif, berarti harus ada tindakan tegas dengan memastikan otoritasnya melalui penindakan sesuai aturan yang berlaku. Kalau berkaca pada kasus kampung Tapakebuy, Desa Gersik Putih, dimana pesisir akan dijadikan tambak garam, ternyata pemerintah daerah gagal menyelesaikan. Bahkan pemkab seperti membiarkan masyarakat Tapakebuy berjuang sendiri dalam mempertahankan lingkungannya.
Terkait dengan tambak udang, pernyataan KH Imam Hasyim bahwa Bapak Fauzi berhasil menyelesaikan dampaknya (tonton video 1:10:24 – 1:11:14), menurut saya tidak sesuai faktanya. Tambak udang (terutama milik investor) memberi dampak yang hingga saat ini terus berlangsung; limbah dibuang ke laut, menyebabkan pencemaran udara karena bau, air sumur asin, ikan di pesisir makin sedikit karena air tercemar adalah contoh-contoh bahwa pemimpin daerah, ketika Bapak Fauzi menjabat, tidak berhasil menyelesaikannya.
Yang kedua soal tambang (termasuk fosfat).
Di perda RTRW revisi (yang dibanggakan sebagai hasil pemerintahannya), ada penambahan kawasan tambang fosfat, dari 8 kecamatan di perda sebelumnya menjadi 18 kecamatan di perda revisi. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah “melegalkan” kerusakan lingkungan, karena fungsi batu karst sebagai “tandon air” (sepeti disinggung KH Unais Ali Hisyam) akan terancam dan mengakibatkan krisis air makin parah.
Setiap tahun, sejak tahun 2022 hingga sekarang ada 49 desa yang tersebar di 16 kecamatan yang mengalami krisis air. Dan parahnya, 16 kecamatan ini merupakan Kawasan Bentang Batu Karst (KBBK) yang di bawahnya terdapat “sungai bawah tanah” tempat air bersemayam. Bayangkan, sebelum ditambang fosfatnya sudah kekeringan, apalagi jika ada penambangan besar-besaran.
Betul bahwa ijin operasional tambang fosfat ada di provinsi. Tetapi pemerintah daerah tak bisa beralasan dan cuci tangan karena bukan kewenangannya (memberi ijin), kemudian abai terhadap kerusakan lingkungan yang mengancam warga.
Di sini kepala daerah seharusnya mencari celah hukum untuk menolak segala bentuk aktivitas industri keruk yang merusak lingkungan. Inilah inovasi. Terobosan. Kemudian dinegosiasikan dengan Pemprov yang punya kewenangan mengeluarkan ijin, agar tidak dikeluarkan, seperti penolakan masyarakat terhadap rencana tambang emas di Silo Jember dan Trenggalek yang Diback up pemerintah daerah. Kok Sumenep malah “melegalkan” kerusakan lingkungan di Perda RTRW 2023-2043, dengan menghampar karpet merah bagi investor?
Salam perubahan
Sumenep, 27 Oktober 2024